I. Pengertian
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh kuman leptospira patogen. Gejala leptospirosis mirip dengan penyakit
infeksi lainnya seperti influensa, meningitis, hepatitis, demam dengue, deman
berdarah dengue dan demam virus lainnya. Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh
penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh
yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk
melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi.
Penyakit leptospirosis mempunyai
sinonim (nama lain): Autumnal fever, Conical fever, Canine typhus, Cane
cutter’s fever, Flood fever, haemorrhagic jaundice, Icteric leptospirosis, Mud
fever, Redwater of calves, Rice field fever, Stuttgard disease, Swamp fever,
Swineherd’s disease, Trench fever dan demam kemih tikus.
II. PATOGENESIS
Kuman leptospira masuk ke dalam
tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa
utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk
melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski
jarang ditemukan, leptospirosis pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira
melalui kulit utuh yang lama terendam air, saat banjir. Infeksi melalui selaput
lendir lambung jarang terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman
leptospira. Kuman leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan
dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari
infeksi. Organisme virulen mengalami mengalami multiplikasi di darah dan
jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal pada hari ke 4 sampai 10 perjalanan penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding
pembuluh darah kecil; sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan
ekstravasasi sel. Patogenitas kuman leptospira yang paling penting adalah
perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selluler. Lipopolysaccharide
(LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan
endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi
perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi
trombosit disertai trombositopenia. Kuman leptospira mempunyai fosfolipase
yaitu hemolisin yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang
mengandung fosfolipid.
Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin. In vivo, toksin in mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal, dan lumen tubulus.
Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin. In vivo, toksin in mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal, dan lumen tubulus.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis
akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler,
sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Ikterik disebabkan oleh
kerusakan sel-sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan
yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai
berkurangnya sekresi bilirubin.
Conjungtival suffusion khususnya
perikorneal; terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan ini sering
dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa uveitis,
iritis dan iridosiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular.
Keberadaan kuman leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis kronik
berulang.
Kuman leptospira difagosit oleh
sel-sel sistem retikuloendotelial serta mekanisme pertahanan tubuh. Jumlah
organisme semakin berkurang dengan meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam
darah. Kuman leptospira akan dieleminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus
proksimal ginjal, dan mungkin otak dimana kuman leptospira dapat menetap selama
beberapa minggu atau bulan.
III. GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Gambaran patologi leptospirosis
ditandai dengan terjadinya vaskulitis, kerusakan endotel, dan infiltrasi
inflamasi yang terdiri dari sel monosit, sel plasma, histosit dan netrifil.
Gambaran histologi leptospirosis yang mencolok yaitu kerusakan hati, ginjal,
jantung dan paru.
a) Kerusakan hati akibat nekrosis sentrilobular yang
disertai proliferasi sel kupffer. Sering ditemukan adanya disosiasi sel-sel
hati, degenerasi sitoplasma, inti sel-sel parenkim mengecil dan infiltrasi
mononukleus pada daerah portal.
b) Kerusakan ginjal lebih nyata dibandingkan dengan
kerusakan hati, yaitu edema, dan perdarajhan di medula. Adanya gambaran
nefritis interstisial yang berlanjut menjadi nekrosis tubulus pada kasus berat.
Silinder protein, pigmen darah, eritrosit dan sisa sel tubulus dapat ditemukan
di medula tubulus.
c) Invasi otot rangka oleh kuman leptospira mengakibatkan
timbulnya pembengkakan, vakuolisasi miofibril, nekrosis fokal, infiltrasi
histiosit, netrofil dan sel plasma leptospira, misalnya pada otot
gastroknemius.
d) Kerusakan pada jantung ditandai dengan petekie di
endokardium dan epikardium, serabut otot sembah, disertai vakuolisasi,
degenerasi dan infiltrasi sel radang. Pada beberapa kasus terjadi miokarditis
toksik atau endokarditis akut.
e) Kerusakan pada paru bervariasi dari inflamasi
intetstisial setempat disertai eksravasasi hingga infiltrasi bronkopneumonik
luas.
IV. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik dengan masa
inkubasi berkisar antara 7 -12 hari dengan rerata 10 hari. Menurut tingkat
keparahan penyakit, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk
pendekatan diagnosis klinik dan penangannya, para ahli membagi penyakit
leptospirosis menjadi: leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik.
Leptospirosis anikterik :
Manifestasi klinik sebagian besar
leptospirosis adalah anikterik, diperkirakan mencapai 90 % dari seluruh kasus
leptospirosis di masyarakat. Bila ditemukan satu kasus leptospirosis berat,
diperkirakan 10 kasus leptospirosis anikterik atau ringan. Perjalanan penyakit
leptospirosis antikterik maupun ikterik umumny leptospiraa bifasik karena
mempunyai 2 fase / stadium yaitu fase leptospiremia/fase septikemia dan fase
imun, yang dipisahkan oleh periode asimtomatik. (tabel 1)
Leptospirosis timbul mendadak dengan gejala:
Ø Demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat
remiten; Nyeri kepala; Menggigil; Mialgia; Mual; muntah dan anoreksia; Nyeri
kepala dapat berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri
retro-orbital dan fotopobia; Nyeri otot terutama di daerah betis sehingga
pasien sukar berjalan, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan
otot sehingga kreatinin fosfokinase akan meningkat, dan pemeriksaan kreatinin
fosfokinase dapat membantu diagnosis klinik leptospirosis.
Ø Adanya canjungtival suffision dan nyeri tekan di
daerah betis. Lemfodenopati, splenomegali, hepatomegali dan ruam makulopapular dapat
ditemukan meskipun jarang.Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis dapat
dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.
Ø Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik
adalah meningitis leptospiraaseptik yang tidak spesifik sehingga sering tidak
terdiagnosis. Pleiositosis pada cairan serebrospinal ditemukan pada 80 %
pasien, meskipun hanya 50 % yang menunjukkan tanda dan gejala klinik meningitis
aseptik.
Pasien leptospirosis anikterik
jarang diberi obat, karena keluhannya ringan, gejala klinik akan hilang dalam
kurun waktu 2 sampai 3 minggu. Manifestasi klinik menyerupai penyakit demam
akut lain, oleh karena itu pada setiap kasus dengan keluhan demam, harus selalu
dipikirkan leptospirosis anikterik sebagai salah satu diagnosis bandingnya,
terutama di daerah endemik dan pasca banjir.
Leptospirosis anikterik merupakan
penyebab utama fever of unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand
dan Malaysia. Mortalitas pada leptospirosis anikterik hampir nol, meskipun
pernah dilaporkan kasus leptospirosis yang meninggal akibat perdarahan masif
paru dalam suatu wabah di cina.
Pada tes pembendungan dapat positif,
sehingga pasien leptospirosis anikterik pada awalnya di diagnosis sebagai
pasien dengan infeksi dengue.
Leptospirosis ikterik:
Pada leptospirosis ikterik, demam
dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak tumpang tindih
dengan fase septikemia. Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan
jumlah kuman leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien
dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat.
Pasien tidak mengalami kerusakan
hepatoselular, bilirubin meningkat, kadar enzim transaminase serum hanya
sedikit meningkat, fungsi hati kembali normal setelah pasien sembuh. Komplikasi
yang terjadi pada leptospirosis merefleksikan leptospirosis sebagai suatu
penyakit multisistem. Leptospirosis sering menyebabkan gagal ginjal akut,
ikterik dan manifestasi perdarahan, yang merupakan gambaran klinik khas
penyakit Weil.
Pada leptospirosis berat,
abnormalitas pencitraan paru sering dijumpai meskipun pada pemeriksaan fisik
belum dityemukan kelainan. Kelainan timbul pada hari ke 3 sampai 9 perjalanan
penyakit. Pencitraan yang paling sering ditemukan adalah patchy alveolar
pattern yang berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar sampai efusi
pleura. Kelainan pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus perifer paru
bagian bawah.
Komplikasi berat seperti miokarditis
hemoragik, kegagalan fungsi beberapa organ, perdarahan masih dan Adult Respiratory
Distress Syndromes (ARDS) merupakan penyebab utama kematian yang hampir
semuanya terjadi pada pasien-pasien dengan leptospirosis ikterik. Penyebab
kematian leptospirosis berat adalah koma uremia, syok septikemia, gagal
kardiorespirasi dan syok hemoragik. Faktor-faktor prognostik yang berhubungan
dengan kematian pada pasien leptospirosis adalah oliguria terutama oliguria
rrnal, hiperkalemia, hipotensi, ronki basah paru, sesak nafas, leukositosis
> 12.900 per mm3 , kelainan Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan
repolarisasi, dan adanya infiltrasi pada foto pencitraan paru.
Pasien leptospirosis berat (ikterik,
gagal ginjal, manifestasi perdarahan, gangguan kesadaran akibat uremia) dapat
menunjukkan gambaran klinik yang mirip dengan malaria falciparum berat ( demam,
ikterik, gagal ginjal, manifestasi perdarahan, kesadaran menurunakibat malaria
serebral), haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS) yang disebabkan oleh
infeksi hantavirus tipe Dobrava (demam, gagal ginjal, manifestasi perdarahan,
injeksi subkonjungtiva, kadang-kadang ikterik, dan demam tifoid berat dengan
komplikasi ganda (sindrom septikemia, ikterik, azotemia, tendensi perdarahan,
soporokoma).
Kelainan gambaran EKG ditemukan >
50 % pasien leptospirosis dalam 24 jam pertaama dalam perawatan di rumah sakit,
dan yang tersering adalah blok artrioventrikular derajat I, dan fibrilasi
atrium.
Hipotensi sering dijumpai pada
pasien leptospirosis leptospirosissaat masuk rumah sakit, dan mayoritas pasien
dengan hipotensi, dan mengalami gangguan fungsi ginjal.
Kasus leptospirosis jarang
dilaporkan pada anak. Hal ini mungkin diasebabkan karena tidak terdiagnosis
atau karena manifestasi klinis yang berbeda dengan orang dewasa. Pada kasus
berat dijumpai miokarditis, ruam deskuamasi yang menyerupai penyakit Kawasaki,
dengan perdarahan paru. Manifestasi klinis pada kasus ringan adalah demam dan
gastroenteritis.
V. DIAGNOSIS KLINIS DAN DIAGNOSIS
BANDING
Langkah untuk menegakkan diagnosis
dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Pola klinis leptospirosis di beberapa rumah sakit tidak sama, tergantung dari :
jenis kuman leptospira, kekebalan seseorang, kondisi lingkungan dan lain-lain.
A. Anamnesis
Pada anamnesis identitas pasien,
keluhan yang dirasakan dan data bepidemiologis penderita harus jelas karena
berhubungan dengan lingkungan pasien.
Identitas pasien ditanyakan: nama,umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di lingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis.
Identitas pasien ditanyakan: nama,umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di lingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis.
B. Pemeriksaan fisik
Gejala klinik menonjol yaitu:
ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta conjungtival suffusion.
Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan. Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hiri ke 3 selambatnya hari ke 7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring; faring terlihat merah dan bercak-bercak.
Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan. Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hiri ke 3 selambatnya hari ke 7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring; faring terlihat merah dan bercak-bercak.
Mialgia dapat sangat hebat,
pemijatan otot betis akan menimbulkan nyeri hebat dan hiperestesi kulit.
Kelainan fisik lain yang ditemukan
yaitu: hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsang meningeal, hipotensi,
ronki paru dan adanya diatesis hemoragi. Diatesis hemoragi timbul akibat proses
vaskulitis difus di kapiler disertai hipoprotrombinemia dan trombositopenia,
uji pembendungan dapat positif. Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis
ikterik dan manifestasi dapat terlihat sebagai petekie, purpura, perdarahan konjungtiva,
dan ruam kulit. Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun
urtikaria generalisata maupun setempat pada badan, tulang kering atau tempat
lain.
C. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium umum
Termasuk pemeriksaan laboratorium
umum yaitu:
1) Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah rutin
dijumpai leukositosis, normal atau menurun, hitung jenis leukosit, terdapat
peningkatan jumlah netrofil. Leukositosis dapat mencapai 26.000 per mm3 pada
keadaan anikterik.
Morfologi darah tepi terlihat
mielosit yang menandakan gambaran pergeseran ke kiri.
Faktor pembekuan darah normal. Masa
perdarahan dan masa pembekuan umumnya normal, begitu juga fragilitas osmotik
eritrosit keadaannya normal. Masa protrombin memanjang pada sebagian pasien
namun dapat dikoreksi dengan vitamin K. Trombositopenia ringan 80.000 per mm3
sampai 150.000 per mm3 terjadi pada 50 % pasien dan berhubung dengan gagal
ginjal, dan pertanda penyakit berat jika hitung trombosit sangat rendah yaitu
5000 per mm 3. Laju endapan darah meningi, dan pada kasus berat ditemui anemia
hipokromia mikrositik akibat perdarahan yang biasa terjadi pada stidium lanjut
perjalanan penyakit.
2) Pemeriksaan fungsi ginjal
Pada pemeriksaan urin terdapat
albuminuria dan peningkatan silinder ( hialin, granuler ataupun selular) pada
fase dini kemudian menghilang dengan cepat. Pada keadaan berat terdapat pula
bilirubinuria, yang dapat mencapai 1 g/hari dengan disertai piuria dan
hematuria. Gagal ginjal kemungkinan besar akan dialami semua pasien ikterik.
Ureum darah dapat dipakai sebagai salah satu faktor prognostik, makin tinggi
kadarnya makin jelek prognosa. Peningkatan ureum sampai di atas 400 mg/dL.
Proses perjalanan gagal ginjal berlangsung progresif dan selang 3 hari kemudian
akan terjadi anuri total. Ganguan ginjal pada pasien penyakit Weil ditemukan
proteinuria serta azotemia, dan dapat terjadi juga nekrosis tubulus akut.
Oliguria: produksi urin kurang dari 600 mL/hari; terjadi akibat dehidrasi,
hipotensi.
3) Pemeriksaan fungsi hati
Pada umumnya fungsi hati normal jika
pasien tidak ada gejala ikterik. Ikterik disebabkan karena bilirubin direk
meningkat. Gangguan fungsi hati ditunjukkan dengan meningkatnya serum
transaminase (serum glutamic oxalloacetic transaminase = SGOT dan serum
glutamic pyruvate transaminase = SGPT). Peningkatannya t idak pasti, dapat
tetap normal ataupun meningkat 2 – 3 kali nilai normal. Berbeda dengan
hepatitis virus yang selalu menunjukkan peningkatan bermakna SGPT dan SGOT.
Kerusakan jaringan otot menyebabkan kreatinin fosfokinase juga meningkat.
Peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata mencapai
5 kali nilai normal. Pada infeksi hepatitis virus tidak dijumpai peningkatan
kadar enzim kreatinin fosfokinase.
b. Pemeriksaan laboratorium khusus
Pemeriksaan laboratorium khusus
untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira dapat secara langsung dengan
mencari kuman leptospira atau antigennya dan secara tidak melalui pemeriksaan
antibodi terhadap kuman leptospira dengan uji serologis
1) Pemeriksaan langsung:
a) Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining
Pemeriksaan langsung dapat
mendeteksi kuman leptospira dalam darah, cairan prtoneal dan eksudat pleura
dalam minggu pertama sakit, khususnya antara hari ke 3 – 7, dan di dalam urin
pada minggu ke dua, untuk diagnosis definitif leptospirosis.
Spesimen urin diambil dengan
kateter, punksi supra pubik dan urin aliran tengah, diberi pengawet formalin 10
% dengan perbandingan 1:4. Bila jumlah spesimen banyak dilakukan dua kali pemusingan
untuk memperbesar peluang menemukan kuman leptospira. Pemusingan pertama
dilakukan pada kecepatan rendah, misalnya 1000 g selama 10 menit untuk membuang
sel, dilanjutkan dengan pemusingan pada kecepatan tinggi antara 3000 – 4000 g
selama 20 – 30 menit agar kuman leptospira terkonsentrasi, kemudian satu tetes
sedimen (10 -20 mL) diletakkan di atas kaca obyek bersih dan diberi kaca
[penutup agar tersebar rata.
Selain itu dapat dipakai pewarnaan
Romanowsky jenis Giemsa, dan pewarnaan perak yang hasilnya lebih baik dibanding
Gram dan Giemsa (kuman leptospira lebih jelas terlihat).
Pewarnaan imunofluoresein lebih
disukai dari pada pewarnaan perak karena kuman leptospira lebih muda terlihat
dan dapat ditentukan jenis serovar. Kelebihan pewarnaan imunofluoresein dapat
dicapai tanpa mikroskop fluoresein dengan memakai antibodi yang telah dilabel
enzim, seperti fosfotase dan peroksidase atau logam seperti emas.
b) Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler dengan reaksi
polimerase berantai untuk deteksi DNA kuman leptospira spesifik dapat dilakukan
dengan memakai primer khusus untuk memperkuat semua strain patogen. Spesimen
dari 2 ml serum, 5 mL darah tanpa antikoagulan dan 10 mL urin.
C, dry°Spesimen
tersebut dikirim pada suhu – 70 C dalam waktu singkat. Urin dikirim°ice, atau
suhu 4 C.°pada suhu 4
c) Biakan
Spesimen diambil sebelum pemberian
antibiotik. Hasil optimal bila darah, cairan serebrospinal, urin dan jaringan
postmortem segera ditanam ke media, kemudian dikirim ke laboratorium pada suhu
kamar.
d) Inokulasi hewan percobaan
Kuman leptospira virulen dapat
menginfeksi hewan percobaan, oleh karena itu hewan dapat dipakai untuk isolasi
primer kuman leptospira. Umumnya dipakai golden hamsters (umur 4 – 6 minggu)
dan marmut muda ( 150 – 175 g), yang bukan karier kuman leptospira.
2) Pemeriksaa tidak langsung / serologi
Berbagai
jenis uji serologi dapat dilihat seperti pada tabel 4.
Jenis uji serologi:
· Microscopic agglutination test (MAT) Microscopic slide
agglutination test (MSAT)
· Uji carik celup:
Ø LEPTO Dipstick
Ø LeptoTek Lateral Flow Enzyme linked immunosorbent
assay (ELISA)
· Aglutinasi lateks Kering
· (LeptoTek Dri – Dot) Microcapsule agglutination test
· Indirect fluorescent antibody test (IFAT) Patoc –
slide agglutination test (PSAT)
· Indirect haemagglutination test (IHA) Sensitized
erythrocyte lysis test (SEL)
· Uji Aglutinasi lateks Counterimmunelectrophoresis
(CIE)
· Complement fixation Test (CFT)
D. Penegakkan diagnosis
Diagnosis Leptospirosis dapat
ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium.
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:
Suspek, bila ada gejala
· klinis, tanpa dukungan uji laboratorium. Diagnosis
menurut Faine dengan menggunakan nilai skor berdasarkan gejala klinis dan data
epidemiologi, sekarang tidak dianjurkan lagi, karena pasien dengan nilai skor
rendah, pemeriksaan kultur dapat positif atau sebaliknya.
· Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan
hasil tes serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot
positif.
Definitif,
bila:
1) Ditemukan kuman leptospira atau antigen kuman
leptospira dengan pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan atau reaksi
polimerase berantai.
2) Gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan didukung
dengan hasil uji MAT serial yang menunjukkan adnya serokonversi atau
peningkatan titer 4 kali atau lebih, atau IgM ELISA positif.
E. Diagnosis banding
Leptospirosis anikterik: influensa,
demam dengue dan demam berdarah dengue, infeksi virus hanta, demam kuning,
riketsiosis, boreliosis, bruselosis, malaria, pielonefritis, meningitis
aseptik, keracunan bahan kimia, keracunan makanan, demam tifoid dan penyakit
demam enterik lain, Fever of known origin (FUO), serokonversi HIV primer,
penyakit legioner, dan infeksi virus/bakteri lain.
Leptospirosis ikterik: malaria
falciparum berat, hepatitis virus, demam tifus dengan komplokasi ganda,
haemorrhagic fever with renal failure, demam berdarah virus lain dengan
komplikasi.
VI. TERAPI
Kuman leptospira sensitif terhadap
sebagian besar antibiotika, terkecuali vakomisin, rafampisin dan mitronidasol.
Pemantauan fungsi jantung perlu
dilakukan pada hari pertama rawat inap dengan mencakup aspek terapi kausatif,
simtomatik dan suportif.
Terapi leptospirosis ringan
1. Pemberian antipiretik, terutama apabila demmamnya
melebihi 38 C.
2. Pemberian antibiotik-antikuman leptospira. Pada
leptospirosis ringan diberikan terapi:
· Doksisiklin 100 mg yang diberikan 2 kaliv sehari,
selama 7 hari, pada anak di atas 8 tahun: 2 mg/Kg/hari (maksimal 100 mg)
· Ampisilin 500 –v 750 mg yang
diberikan 4 kali sehari per oral
· Amoksisilin 500 mg yang diberikan 4 kali sehari per
oral.
Terapi leptospirosis berat
1. Pemberian antipiretik.
2. Pemberian Nutrisi dan cairan
Pemberian nutrisi perlu
diperhatikan, karena nafsu makan pasien menurun, sehingga asupan nutrisi
berkurang. Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen,
dengan perhitungan:
Berat badan 0 – 10 kg : 100 kalori/kgBB/hari
Berat badan 20 – 30 kg : ditambahkan
50 kalori/kgBB/hari
Berat badan 30 – 40 kg : ditambahkan
25 kalori/kgBB/hari
Berat badan 40 – 50 kg : ditambahkan
10 kalori/kgBB/hari
Berat badan 50 – 60 kg : ditambahkan
5 kalori/kgBB/hari
Karbohidrat diberikan dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein yang cukup mengandung asam amino esensial, diberikan sebanyak 0,2 – 0,5 gram/kgBB/ hari.. Pada pasien dengan muntah hebat atau tidak mau makan, diberikan makanan secara parenteral ( tersedia kemasan cairan infus yang praktis, cukup kandungan nutrisinya)
Pemberian
antibiotik :
Prokain penisilin 6 – 8 juta unit
sehari yang diberikan 4 kali sehari intramuskular
Ampisilin 1 gram yangv diberikan 4
kali sehari intravena
Amoksisilin 1 gram yang diberikan 4
kali sehari intravena
Antibiotik pada anak:
Prokain penesilin 50.000 IU/kg BB;
maksimal 2 juta IU sehari yang diberikan 4 kali sehari intramuskular
Doksisiklin pada anak >8 tahun: 2
mg/kgBB; maksimal 100 mg sehari yang diberikan 2 kali sehari per oral.
Pananganan khusus:
a. Hiperkalemia : Merupakan keadaan yang harus segera
ditangani, karena menyebabkan cardiac arrest;
b. Asidosis metabolik;
c. Hipertensi: perlu diberikan anti hipertensi.;
d. Gagal jantung: pembatasan cairan, digitalis dan
diuretik;
e. Perdarahan diatasi dengan transfusi.
Diagnosis is suspect (hanya didukung
oleh gejala klinis&riwayat pajanan) Demam, cojunctival suffusion,
nkaku&nyeri otot (betis dan paha) Ikterik, sakit kepala, menggigil,
oliguria,anuria kaku kuduk,dll. Ditambah: riwayat pajanan dengan
hewan/lingkungan terkontaminasi urin hewan faktor resiko transmisi
leptospirosis
Diagnosis Probable: Diagnosis suspect didukung tes serologi penyaringan positif
Diagnosis is Confirmed: Peningkatan titer serial 4 atau serokonversi MAT atau ELISA IgM (+)Azotemia
Diagnosis Probable: Diagnosis suspect didukung tes serologi penyaringan positif
Diagnosis is Confirmed: Peningkatan titer serial 4 atau serokonversi MAT atau ELISA IgM (+)Azotemia
VII. PENCEGAHAN
Pencegahan penularan kuman
leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi yang meliputi:
1) Intervensi sumber infeksi;
2) Intervensi pada jalur penularan ;
3) Intervensi pada pejamu manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes R.I.
2003. Pedoman tatalaksanan kasus dan pemeriksaan laboratorium leptospirosis
di rumah sakit. Ditjen PPM-PL Jakarta, RSPI DR SS
Faine, S.
1982. Guidelines for the control of leptospirosis. Geneva: WHO Offset
Publication No. 67l
Gasem, MH. 2003. Gambaran klinik dan diagnosis
leptospirosis pada manusia. Dalam: Riyanto B, Gasem MH, Sofro M AU Editor:
Kumpulan makalah symposium leptospirosis. Cetakan pertama.Badan penerbit
Universitas Dipo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar