Powered By Blogger

Senin, 07 Mei 2012

Askep Perilaku Kekerasan


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Umumnya klien dengan Perilaku Kekerasan dibawa dengan paksa ke Rumah sakit Jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan pengawalan oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi.
Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga/orang lain, merusak alat rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh keluarga. Penanganan oleh keluarga belum memadai, keluarga seharusnya mendapatkan pendidikan kesehatan tentang merawat klien (manajemen perilaku kekerasan).
Dalam makalah ini kami akan mencoba untuk memberikan penjelasan dan penatalaksanaan yang efektif dan aman terhadap pasien dengan perilaku kekerasan demi kesembuhan pasien dan keluarga pasien.
B.     Tujuan
1.    Tujuan Umum
Megetahui asuhan keperawatan yang efektif dan aman bagi penderita perilaku kekerasan.
2.    Tujuan Khusus
1)   Dapat mengetahui definisi perilaku kekerasan.
2)   Dapat mengetahui etiologi, patofisiologi dan manifestasi klinis pada perilaku kekerasan.
3)   Mengetahui cara mengkaji status kesehatan klien berhubungan dengan gangguan fungsi sistem syaraf meliputi pengkajian bio-psiko-kultural.
4)   Dapat mengidentifikasi tanda dan gejala pada kasus perilaku kekerasan.
5)   Dapat melakukan diagnosa pada perilaku kekerasan.
6)   Dapat memberikan intervensi pada perilaku kekerasan.





BAB II
TINJAUAN TEORI
A.    Definisi
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang,
diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau sexua litas ( Nanda, 2005 ).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam Depkes, 2000). Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman ( Stuart dan Sunden, 1997 ).
Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat menimbulkan respon asertif. Respon menyesuaikan dan menyelesaikan merupakan respon adaptif. Kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada individu dan tidak akan menimbulkan masalah.
Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan menantang. Respon melawan dan menantang merupakan respon yang maladaptif yaitu agresif–kekerasan. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan. Dalam keadaan ini tidak ditemukan alternatif lain. Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu tuntutan nyata. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah da n merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Amuk atau kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Stuart and Sundeen, 1997 dalam Depkes, 2001).
B.     Etiologi
Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi.
faktor yang mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu:
1.    Frustasi
sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.
2.    Hilangnya harga diri
pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya.
3.    Kebutuhan akan status dan prestise
Manusia pada umumnya mempunyai keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.
C.    Patofisioogi
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah merupakan bagian kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu runkan ketegangan, sehingga perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000). Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak akan menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan. Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri (Depkes, 2000).




D.    Manisfestasi klinik
1.    Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)
2.    Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
3.    Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
4.    Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
5.    Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya. ( Budi Ana Keliat, 1999)
E.     Klasifikasi
Faktor predisposisi dan faktor presipitasi dari perilaku kekerasan (Keliat,
2002) adalah :
1.    Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan
jika faktor berikut dialami oleh individu:
1)   Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak -kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi penganiayaan.
2)   Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan di rumah atau diluar rumah, semua aspek
ini mestimulasi individu mengadopsi perilaku kerasan.
3)   Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas secara diam (pasif agresif)
dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima ( permisive)
4)   Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistim limbik, lobus frontal,
lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmiter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan.
2.    Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai atau pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.
F.     Penatalaksanaan
1.    Tindakan Keperawatan Keliat dkk. (2002) mengemukakan cara khusus yang dapat dilakukan keluarga dalam mengatasi marah klien yaitu :
1)   Berteriak, menjerit, memukul Terima marah klien, diam sebentar, arahkan klien untuk memukul barang yang tidak mudah rusak seperti bantal, kasur
2)   Bantu klien latihan relaksasi misalnya latihan fisik maupun olahraga. Latihan pernafasan 2x/hari, tiap kali 10 kali tarikan dan hembusan nafas.
3)   Bantu melalui humor Jaga humor tidak menyakiti orang, observasi ekspresi muka orang yang menjadi sasaran dan diskusi cara umum yang sesuai.
2.    Terapi Medis Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Menurut Depkes (2000), jenis obat psikofarmaka adalah :
1)   Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala -gejala psikosa : agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejalagejala lain yang bisanya terdapat pda penderita skizofrenia, manik depresif, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil. Cara pemberian untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan intramuskuler. Dosis permulaan ada lah 25 – 100 mg dan diikuti peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari. Dosis ini dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat dilakukan satu kali pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari. Bila gejala psikosa
belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara perlahan-lahan sampai 600 –
900 mg perhari. Kontra indikasi sebaiknya tidak diberikan kepada klien
dengan keadaan koma, keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika dan
penderita yang hipersensitif terhadap derifat fenothiazine. Efek samping yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik, mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenorrhae pada wanita, hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk penderita non psikosa dengan do sis yang tinggi menyebabkan gejala penurunan kesadaran karena depresi susunan saraf pusat, hipotensi, ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran irama EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan intoksikasi.
2)   Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilles
de la Tourette pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat pada anak -anak. Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi menjadi 6 – 15 mg untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 – 5 mg intramuskuler setiap 1 – 8 jam, tergantung kebutuhan. Kontra indikasinya depresi sistem saraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek samping yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah, gejala ekstrapiramidal atau pseudo parkinson. Efek samping yang jarang adalah nausea diare, konstipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reak si hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemasan otot atau kekakuan, tremor, hipotensi, sedasi, koma, depresi pernafasan.
3)   Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin)
Indikasinya untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala skizofrenia. Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah (12,5 mg) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis ditingkatkan 25 mg dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg setiap kali suntikan, tergantung dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali suntikan sebaiknya peningkatan perlahan -lahan. Kontra indikasinya pada depresi susunan saraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap fluphenazine atau ada riwayat sensitif ter hadap phenotiazine. Intoksikasi biasanya terjadi gejala-gejala sesuai dengan efek samping yang hebat. Pengobatan over dosis; hentikan obat berikan terapi simptomatis dan suportif, atasi hipotensi dengan levarterenol hindari menggunakan ephineprine. Terapi Medis ( Kaplan dan Sadock, 1997 ) Rang paranoid atau dlam keadaan luapan katatonik memerlukan trankuilisasi. Ledakan kekerasan yang episodic berespon terhadap lithium ( Eskalith ), penghambat – beta, dan carbamazepine (Tegretol). Jika riwayat penyakit mengarahkan suatu gangguan kejang, penelitian klinis dilakukan untuk menegakkan diagnosis, dan suatu pemeriksaan dilakukan untuk memastikan penyebabnya. Jika temuan adalah positif, antikonvulsan adalah dimulai, atau dilakukan pembedahan yang sesuai (sebagai contohnya, pada masa serebral). Untuk intoksikasi akibat zat rekreasional, tindakan konservatif mungkin adekuat. Pada beberapa keadaan, obat-obat seperti thiothixene ( Navane ) dan haloperidol, 5 smaapi 10 mg setiap setengah jam samapai satu jam, adalah diperlukan sampai pasien distabilkan. Benzodiazepine digunkan sebagai pengganti atau sebgai tambahan antipsikotik. Jika obat rekresinal memiliki sifat antikolinergik yang kuat, benzodiazepine adalah lebih tepat dibandingkan antipsikotik. Pasien yang melakukan kekerasan dan melawan paling efektif ditenangkan dengan sedative atau antipsikotik yang sesuai. Diazepam ( valium ), 5 sampai 10 mg, atau lorazepam ( Ativan ), 2 smapai 4 mg, dpat diberikan intravena ( IV ) perlahan -lahan selama 2 menit. Klinis harus memberikan mediksi IV dengan sangat hati -hati, sehingga henti pernafsan tidak terjadi. Pasien yang memerlukan medikasi IM dapat disedasi dengan haloperidol, 5 smapi 10 mg IM, atau dengan Chlorpromazine 25 mg IM. Jika kemarahan disebabkan oleh alcohol atau sebagi bagian dari gangguan psikomotor pascakejang, tidur yang ditimbulkan oleh medikasi IV dengan jumlah relative kecil dapat berlangsung selama berjam -jam. Saat terjaga, pasien seringkali sepenuhnya terjaga dan rasional dan biasanya memiliki amnesia lengkap untuk episode kekerasan.
G.    Pohon Masalah
Resiko mencederai diri,orang lain dan lingkungan
Perilaku kekerasan
Gangguan harga diri : Harga diri rendah
Koping individu tidak efektif
H.    Evaluasi
Hasil yang diharapkan:
1.    Klien mengungkapkan perasaannya terhadap penyakit yang diderita.
2.    Klien menyebutkan aspek positif dan kemampuan dirinya(fisik, intelektual, system pendukung).
3.    Klien berperan serta dalam perawatan dirinya.
4.    Percaya diri klien menetapkan keinginan atau tujuan yang realistik.
BAB III
PEMBAHASAN
A.    Kasus
Tn D (35 th) dibawa ke RSJ karena marah – marah tanpa sebab. Saat pengkajian muka merah, mata melotot, tangan mengepal. Menurut penuturan keluarga Tn D dirumah memukul anaknya. Tn D mengalami perubahan perilaku sejak di PHK dan istri meninggalkannya 5 tahun yang lalu.
B.     Pengkajian
1.    Identitas klien
Inisial : Tn D 
Umur : 35 tahun 
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Suku / Bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Semarang
Penanggung Jawab :
Nama : Tn K
Umur : 45
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Semarang
Hubungan : Kakak Kandung
Tanggal Pengkajian : 25 Juli 2009
RM No : 69
Informan : -
2.    Alasan Masuk
Marah-marah tanpa sebab.
3.    Faktor Predisposisi dan Presipitasi
Tn D sebelumnya pernah mengalami gangguan jiwa, pengobatan sebelumnya kurang berhasil. Waktu berumur 8 tahun dia pernah dianiaya fisik oleh gurunya. Sebelumnya keluarganya tidak ada yang mengalami gangguan jiwa. Tn D memiliki pengalaman yang sangat tidak menyenangkan karena di PHK dan istrinya meninggalkannya 5 tahun yang lalu.
Masalah Keperawatan: resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
4.    Pemeriksaan Fisik
1)   Tanda vital : TD: 120 / 80 mmHg, N: 88 x / menit, S: 37oC, RR: 18 x / mnt
2)   Ukur : TB: 165 cm, BB: 60 kg
3)   Keluhan fisik :Klien merasa badannya sakit semua dan minta di lepas ikatannya
5.    Psikososial
1)   Konsep diri
a.    Gambaran diri
Klien menyatakan menyukai semua bagian tubuhnya
b.    Identitas diri
Klien menyadari dirinya sebagai laki-laki, pendidikan hanya sampai SMA dan status sekarang adalah pengangguran.
c.    Peran 
Klien berperan sebagai anak tunggal di rumahnya. Klien merasa belum mampu memenuhi kebutuhannya anak dan istrinya,sejak di PHK kebutuhan keluarganya di tanggung oleh orang tua klien
d.   Ideal diri 
Klien mengatakan kalau dirinya pengen dapat pekerjaan lagi..
e.    Harga diri 
Selama di rumah, klien merasa malu, minder, tidak percaya diri untuk bergaul dengan orang lain karena klien di anggap orang stress dan merasa orang lain tidak suka dengannya.
Masalah Keperawatan : Gangguan konsep diri : harga diri rendah
2)   Hubungan sosial
a.    Orang yang berarti dan paling dekat dengan klien adalah ibu nya. Klien menganggap dia adalah orang yang paling dekat dengannya dan klien sering bercerita pada ibu nya.
b.    Peran serta dalam kelompok atau masyarakat Sebelum klien mengalami gangguan jiwa, klien mudah bergaul dengan tetangganya, Setelah di PHK klien tidak mau bergaul dengan tetangganya.
c.    Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain Klien mulai tidak mau bergaul dengan orang lain karena merasa orang lain tidak menyukainya dan takut dengannya.
Masalah Keperawatan : Interaksi Sosial, perubahan
3)   Spiritual
a.    Nilai dan keyakinan
Klien beragama Islam. Menurut keluarga klien stress sejak di PHK.
b.    Kegiatan ibadah
Selama dirawat klien belum menjalankan sholat lima waktu.
6.    Status Mental
1)   Penampilan Fisik
Penampilan klien rapi, bersih, cara berjalan tergesa-gesa, kontak mata positif, klien ganti pakaian dua kali sehari setelah mandi, roman muka tegang.
Masalah Keperawatan : -
2)   Pembicaraan
Cara bicara cepat, volume sedang.
Masalah Keperawatan : -
3)   Aktifitas motorik
Tingkat aktivitas klien terlihat tegang dan gelisah.
Masalah Keperawatan : -
4)   Alam perasaan
Klien mengatakan saat ini perasaannya biasa saja. Klien hanya merasa sedih dan kecewa karena di bawa ke RSJ ini.
Masalah Keperawatan : -
5)   Afek
Afek klien sesuai dengan stimulus yang diberikan. Ekspresi wajah klien merah, mata melotot,tangan mengepal saat dilakukan pengkajian.
Masalah Keperawatan : -
6)   Interaksi selama wawancara
Kontak mata baik atau positif, klien kooperatif saat diajak bicara dan menjawab semua pertanyaan yang diberikan. Pandangan mata klien melotot, postur tubuh cenderung maju ke depan.
Masalah Keperawatan : -
7)   Persepsi
Klien tidak mengalami gangguan persepsi.
Masalah Keperawatan : -
8)   Proses fikir 
Pembicaraan klien bisa dimengerti oleh perawat. Selama komunikasi dengan perawat dan orang lain dapat diobservasi bahwa pembicaraan klien terarah, jawaban koheren dengan pertanyaan yang diajukan, hanya saja pada saat awal-awal kontrak, terkadang jawaban klien tidak sesuai dengan aslinya, tetapi setelah diklarifikasi lagi klien mengakuinya. Tidak ada sirkumtansial, tangensial, blocking dan lain-lain.
Masalah Keperawatan : -
9)   Isi pikiran
Klien tidak mengalami gangguan dalam isi pikir. Klien tidak mempunyai pikiran yang aneh-aneh selama ini. Bila memikirkan sesuatu terlalu lama klien merasa pusing.
Masalah Keperawatan : -
10)    Tingkat kesadaran 
Klien dapat berorientasi terhadap tempat, waktu, dan orang-orang terdekat. Klien mengetahui hari tanggal dan jam, klien mengetahui orang yang mengajak bicara. Klien menyadari dirinya benar-benar berada di RSJ.
Masalah Keperawatan : -
11)    Memori
Sebagian besar klien masih dapat mengingat kejadian lalu.
Masalah Keperawatan : -
12)    Tingkat konsentrasi dan berhitung
Klien dapat berhitung dengan urut, masih dapat berkonsentrasi dengan baik terbukti bahwa klien bisa menyebutkan jumlahkeluarganya dan bisa menyebutkan sudah berapa lama dia dirawat.
Masalah Keperawatan : -
13)    Kemampuan penilaian
Pasien dapat mengambil keputusan sederhana dengan bantuan.
Masalah Keperawatan : -




7.    Kebutuhan Persiapan Pulang
1)   Makan
Klien makan 3 x sehari dengan menu yang disediakan di RSJ. Klien mau makan dengan menu yang disediakan di RSJ dan tidak ada pantangan dalan makanan. Klien sudah mampu untuk menyediakan dan membersihkan sendiri alat makannya.
Masalah Keperawatan : -
2)   BAB/BAK
Klien mampu melakukan BAB dan BAK sendiri. Klien juga mampu membersihkan diri setelah BAB dan BAK.
Masalah Keperawatan : -
3)   Mandi
Klien selama di RSJ mandi 2 x sehari tanpa bantuan, ganti baju 2 x sehari, menggosok gigi 2 x sehari. Klien juga mampu mencuci rambut sendiri.
Masalah Keperawatan : -
4)   Bepakaian
Klien mampu mengenakan pakaian sendiri dan sesuai dengan pasangannya. Setiap kali mandi klien ganti baju. Klien mampu menyisir rambutnya sendiri.
Masalah Keperawatan : -
5)   Istirahat tidur
Klien selama sehari tidur + selama 7 jam, siang hari klien biasa tidur 1-2 jam, apabila ingin tidur tidak ada persiapan khusus, klien jika merasa ngantuk langsung pergi tidur.
Masalah Keperawatan : -
6)   Penggunaan obat
Selama di RSJ klien diberi obat sehari 2x yaitu sebelum makan siang dan setelah makan malam. Obat yang dberikan pada klien selalu dimakan tidak pernah dibuang. Reaksi obat yang dirasakan oleh klien adalah mengantuk.
Masalah Keperawatan : -
7)   Pemeliharaan kesehatan :
Tekad keluarga sudah bulat dan berani menerima konsekwensinya, untuk mengobatkan anaknya di RSJ ini. Keluarga akan mengunjungi klien satu minggu sekali. Klien mengatakan jika sudah pulang nanti akan rutin kontrol di rumah sakit yang dekat dengan rumahnya saja.
Masalah Keperawatan: -
8)   Kegiatan didalam dirumah
Klien mengatakan nanti kalau sudah pulang ke rumah, dia akan membantu pekerjaan orang tuanya di rumah seperti: mencuci baju, menyapu rumah ataupun yang lainnya.
Masalah Keperawatan : -
9)   Kegiatan di luar rumah
Klien mengatakan jika sudah sampai di rumah nanti klien akan dilanjutkan pemondokan ke ponpes. Klien tidak pernah melakukan kegiatan di luar rumah.
Masalah Keperawatan : -
8.    Mekanisme koping
Klien adalah seorang yang periang dan mudah bergaul, jika klien terdapat masalah, klien hanya dipendam sendiri. Klien mengatakan apabila klien merasa kesal, jengkel, marah, klien sering mengalihkannya dengan tiduran di kamar dan kadang meninggalkan rumah.
Keluarga mengatakan semenjak pulang dari rumah sakit baik sebentar, kemudian selang satu bulan klien menjadi mudah tersinggung, jika klien terdapat masalah seperti dengan orang tuanya ataupun tanpa sebab kenapa dia marah yang dilakukannya adalah bicara kacau atau kasar, marah-marah,memukul anaknya, memecah barang-barang yang terdapat disekitarnya Setelah klien marah-marah klien lebih sering hanya diam saja.
Masalah Keperawatan : Koping individu tidak efektif
9.    Masalah Psikososial dan Lingkungan
Semenjak di tinggal pergi istrinya dan di PHK,klien jarang bergaul dengan tetangganya,klien sering mengamuk apabila di suruh ibu nya untuk ber gaul dan kumpul-kumpul dengan tetangganya.
10.     Pengetahuan Kuranf Tentang
Keluarga menyatakan tidak mampu mengatasi penyakit yang diderita klien.
Pengetahuan yang kurang dari klien dan keluarga yaitu tentang: penyakit jiwa, faktor predisposisi, koping, sistem pendukung, penyakit fisik dan obat-obatan.

C.    Diagnosa Keperawatan dan Tindakan
“Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual dan potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan sebagai proses kehidupan”. (Carpenito, 1995).
Adapun kemungkinan diagnosa keperawatan pada klien marah dengan masalah utama perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
1.    Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan.
2.    Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
Perencanaan tindakan keperawatan adalah merupakan suatu pedoman bagi perawat dalam melakukan intervensi yang tepat. Pada makalah ini akan diuraikan rencana tindakan keperawatan pada diagnosa :
1.    Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan
Tujuan umum : klien tidak mencederai diri / orang lain / lingkungan.
Tujuan khusus :
1)   Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2)   Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
3)   Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
4)   Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekekerasan yang biasa dilakukan.
5)   Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
6)   Klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara konstruktif.
7)   Klien dapat mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.
8)   Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.
9)   Klien dapat menggunakan obat yang benar.
Tindakan keperawatan :
1)   Bina hubungan saling percaya.
Rasional : Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.
2)   Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya.
Rasional : Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.
3)   Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan untuk intervensi.
4)   Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.
5)   Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.
Rasional : membantu dalam memberikan motivasi untuk menyelesaikan masalahnya.
6)   Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan klien.
Rasional : mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.
7)   Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
Rasional : mengerti cara yang benar dalam mengalihkan perasaan marah.
8)   Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
Rasional : menambah pengetahuan klien tentang koping yang konstruktif.
9)   Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif, meningkatkan harga diri klien.
2.    Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan umum : klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan dengan orang lain.
Tujuan khusus :
1)   Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2)   Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang dimiliki.
3)   Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
4)   Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki.
5)   Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
6)   Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Tindakan keperawatan :
1)   Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik.
Rasional : hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.
2)   Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.
3)   Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif.
Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat klien dalam hidupnya.
4)   Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek positif klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
5)   Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan.
6)   Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di rumah sakit.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan.
7)   Berikan pujian.
Rasional : meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.
8)   Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit.
Rasional : agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai kemampuan yang dimiliki.












BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang,
diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau sexua litas ( Nanda, 2005 ).
Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri, kebutuhan akan status dan prestise yang tidak terpenuhi.
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah merupakan bagian kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual dan potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan sebagai proses kehidupan”. (Carpenito, 1995).Adapun kemungkinan diagnosa keperawatan pada klien marah dengan masalah utama perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
1.    Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan
Intevensinya:
1)   Bina hubungan saling percaya.
2)   Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya.
3)   Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
4)   Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
5)   Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.
6)   Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan klien.
7)   Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
8)   Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
9)   Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.
2.    Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
Tindakan keperawatan :
1)   Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik.
2)   Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
3)   Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif.
4)   Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek positif klien.
5)   Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
6)   Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di rumah sakit.
7)   Berikan pujian.
8)   Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit.
B.     Saran
Tim penyusun mengetahui bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari sempurna. Kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan untuk memperbiki penulisan makalah selanjutnya
















DAFTAR PUSTAKA
Dadang Hawari, 2001, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Schizofrenia, FKUI; Jakarta.
Depkes RI, 1996, Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat Pelayanan Keperawatan, 2000, Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan, Jakarta.
Azis R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino Gondoutomo. 2003
Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran, EGC ; Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa : Yasmin Asih, Edisi 6, EGC, Jakarta, 1998
Keliat Budi Anna, 2002, Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan, FIK, UI : Jakarta

Tidak ada komentar: