ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN SIFILIS
A. PENGERTIAN
Sifilis adalah
penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum.
Penyakit menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan
seksual. Penyakit ini sangat kronik, bersifat sistemik dan menyerang hampir
semua alat tubuh.
B. ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini
adalah Treponema pallidum yang termasuk ordo spirochaetales,
familia spirochaetaceae, dan genus treponema. Bentuk spiral,
panjang antara 6 – 15 µm, lebar 0,15 µm. Gerakan rotasi dan maju seperti
gerakan membuka botol. Berkembang biak secara pembelahan melintang, pembelahan
terjadi setiap 30 jam pada stadium aktif.
C. EPIDEMIOLOGI
Asal penyakit tidak
jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa. Pada tahun 1494 terjadi
epidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis
melelui hubungan seksual. Pada abad ke-15 terjadiwabah di Eropa. Sesudah tahun
1860, morbilitas sifilis menurun cepat. Selama perang dunia II, kejadian
sifilis meningkat dan puncaknya pada tahun 1946, kemudian menurun setelah itu.
Kasus sifilis di
Indonesia adalah 0,61%. Penderita yang terbanyak adalah stadium laten, disusul
sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II.
D. PATOFISIOLOGI
v Stadium Dini
Pada sifilis yang didapat, Treponema pallidum masuk
ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui
senggama. Kuman tersebut berkembang biak, jaringan bereaksi dengan membentuk
infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di
perivaskuler, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi dikelilingi oleh Treponema
pallidum dan sel-sel radang. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan
perubahan hipertrofi endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis
obliterans). Pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S I. Sebelum S I terlihat,
kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan
berkembang biak, terjadi penjalaran hematogen yang menyebar ke seluruh jaringan
tubuh. Multiplikasi diikuti oleh reaksi jaringan sebagai S II yang terjadi 6-8
minggu setelah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat
tersebut berkurang jumlahnya. Terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya
sembuh berupa sikatrik. S II juga mengalami regresi perlahan-lahan lalu
menghilang. Timbul stadium laten. Jika infeksi T.pallidum gagal diatasi
oleh proses imunitas tubuh, kuman akan berkembang biak lagi dan menimbulkan
lesi rekuren. Lesi dapat timbul berulang-ulang.
v Stadium Lanjut
Stadium laten berlangsung bertahun-tahun karena treponema
dalam keadaan dorman. Treponema mencapai sistem kardiovaskuler dan sistem saraf
pada waktu dini, tetapi kerusakan perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu
bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Kira-kira dua pertiga kasus
dengan stadium laten tidak memberi gejala.
F. KLASIFIKASI dan GEJALA
Sifilis dibagi
menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisital (didapat). Sifilis kongenital
dibagi menjadi sifilis dini (sebelum dua tahun), lanjut (setelah dua tahun),
dan stigmata. Sifillis akuisita dapat dibagi menurut dua cara yaitu:
- Klinis (stadium I/SI, stadium II/SII, stadium III/SIII)
dan
- Epidemiologik, menurut WHO dibagi menjadi:
1.
Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II,
stadium rekuren, dan stadium laten dini.
2.
Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri atas
stadium laten lanjut dan S III.
v GEJALA KLINIS
Sifilis Akuisita
1. Sifilis Dini
a. Sifilis Primer (S I)
b. Sifilis Sekunder (S II)
2. Sifilis Lanjut
G. DIAGNOSA BANDING
1.
Stadium I
Herpes
simplek
Ulkus
piogenik
Skabies
Balanitis
Limfogranuloma
venereum (LGV)
Karsinoma
sel skuamosa
Penyakit
behcet
Ulkus
mole
2.
Stadium II
Erupsi
obat alergik
Morbili
Pitiriasis
rosea
Psoriasis
Dermatitis
seboroika
Kandiloma
akuminatum
Alopesia
areata
3.
Stadium III
Sporotrikosis
Aktinomikosis
H. PENCEGAHAN
Banyak hal yang dapat
dilakukan untuk mencegah seseorang agar tidak tertular penyakit sifilis. Hal-hal yang dapat dilakukan
antara lain:
1.
Tidak berganti-ganti pasangan
2.
Berhubungan seksual yang aman: selektif memilih pasangan dan pempratikkan
‘protective sex’.
3.
Menghindari penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan transfusi darah yang
sudah terinfeksi.
I. PENATALAKSANAAN
Penderita sifilis
diberi antibiotik penisilin (paling efektif). Bagi yang alergi penisillin
diberikan tetrasiklin 4×500 mg/hr, atau eritromisin 4×500 mg/hr, atau
doksisiklin 2×100 mg/hr. Lama pengobatan 15 hari bagi S I & S II dan 30
hari untuk stadium laten. Eritromisin diberikan bagi ibu hamil, efektifitas
meragukan. Doksisiklin memiliki tingkat absorbsi lebih baik dari tetrasiklin
yaitu 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.
Obat lain adalah
golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4×500 mg/hr selama 15 hari,
Sefaloridin memberi hasil baik pada sifilis dini, Azitromisin dapat digunakan
untuk S I dan S II.
J. PROGNOSIS
Prognosis sifilis
menjadi lebih baik setelah ditemukannya penisilin. Jika penisilin tidak
diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh, 5% akan mendapat S III, 10%
mengalami sifilis kardiovaskuler, neurosifilis, dan 23% akan meninggal.
Pada sifilis dini
yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam
7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening akan menetap berminggu-minggu.
Kegagalan terapi
sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis umumnya terjadi setahun setelah
terapi berupa lesi menular pada mulut, tenggorokan, dan regio perianal. Selain
itu, terdapat kambuh serologik.
Pada sifilis laten
lanjut, prognosis baik. Pada sifilis kardiovaskuler, prognosis sukar
ditentukan. Prognosis pada neurosifilis bergantung pada tempat dan derajat
kerusakan.
Sel saraf yang sudah
rusak bersifat irreversible. Prognosis neurosifilis pada sifilis dini baik,
angka penyembuhan dapat mencapai 100%. Neurosifilis asimtomatik pada stadium
lanjut juga baik, kurang dari 1% memerlukan terapi ulang
Prognosis sifilis
kongenital dini baik. Pada yang lanjut, prognosis tergantung pada kerusakan
yang sudah ada.
Ø ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
a.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Kesadaran, status
gizi, TB, BB, suhu, TD, nadi, respirasi
b.
Pemeriksaan sistemik
Kepala (mata, hidung,
telinga, gigi&mulut), leher (terdapat perbesaran tyroid atau tidak),
tengkuk, dada (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi), genitalia, ekstremitas
atas dan bawah.
c.Pemeriksaan
penunjang
-
Pemeriksaan laboratorium (kimia darah, ureum, kreatinin, GDS, analisa urin,
darah rutin)
Ø Diagnosa Keperawatan
& Intervensi
a. Nyeri kronis b.d
adanya lesi pada jaringan yang ditandai dengan :
DS : klien mengatakan
adanya nyeri
DO : klien meringis kesakitan
Tujuan: nyeri klien
hilang dan kenyamanan terpenuhi
Kriteria:
-
Nyeri klien berkurang
-
Ekspresi wajah klien tidak kesakitan
-
Keluhan klien berkurang
Intervensi:
-
Kaji riwayat nyeri dan respon terhadap
nyeri
-
Kaji kebutuhan yang dapat mengurangi nyeri dan jelaskan tentang teknik
mengurangi nyeri dan penyebab nyeri
-
Ciptakan lingkungan yang nyaman (mengganti alat tenun)
-
Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan
-
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik
Implementasi
:
-
mengkaji adanya nyeri setiap hari
-
mengajarkan teknik relaksasi setiap hari
-
mengganti alat tenun setiap 3 jam
b.
Hipertermi b.d proses infeksi yang ditandai dengan :
DS : klien mengatakan adanya demam
DO : suhu tubuh klien 38 C
Tujuan: klien akan
memiliki suhu tubuh normal
Kriteria:
-
Suhu 36–37 °C
-
Klien tidak menggigil
-
Klien dapat istirahat dengan tenang
Intervensi:
-
Observasi keadaan umum klien dengan tanda vital tiap 2 jam sekali
-
Berikan antipiretik sesuai anjuran dokter dan monitor keefektifan 30-60 menit
kemudian
-
Berikan kompres di dahi dan lengan
-
Anjurkan agar klien menggunakan pakaian yang tipis dan longgar
-
Berikan minum yang banyak pada klien
Implementasi
:
-mengobservasi tanda-tanda vital
-
c.
Cemas b.d proses penyakit yang ditandai dengan :
DS
: klien selalu bertanya tentang penyakitnya
DO : klien tampak gelisah
Tujuan: cemas
berkurang atau hilang
Kriteria:
-
Klien merasa rileks
-
Vital sign dalam keadaan normal
-
Klien dapat menerima dirinya apa adanya
Intervensi:
-
Kaji tingkat ketakutan dengan cara pendekatan dan bina hubungan saling percaya
-
Pertahankan lingkungan yang tenang dan aman serta menjauhkan benda-benda
berbahaya
-
Libatkan klien dan keluarga dalam prosedur pelaksanaan dan perawatan
-
Ajarkan penggunaan relaksasi
-
Beritahu tentang penyakit klien dan tindakan yang akan dilakukan secara
sederhana.
Implementasi ;
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, Adhi. 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: FKUI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar